DINASTI ABBASIYAH
OLEH:SUKMAN
A.
PENDAHULUAN
Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Bani Umayyah.
Mereka dapat memungkinkan untuk mencapai hasil lebih banyak karena landasannya
telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar dan Abasiyyah yang pertama
memanfaatkannya. Penggantian Umayyah oleh Abasiyyah ini bukan sekedar
penggantian dinasti, tetapi merupakan suatu revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya
dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia di dalam Sejarah Barat[1]
Bani
Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia, sehingga banyak dipengaruhi
oleh peradaban bangsa Persia. Jika bani Umayyah dengan Damaskus sebagai Ibu
Kotanya mementingkan kebudayaan Arab, maka bani Abbasiyah dengan memindahkan
Ibu kotanya ke Baghdad telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di
daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Di samping itu, tangan
kanan yang membawa Bani Abbasiyah kepada kekuasaan adalah orang-orang Persia.
Dan setelah berkuasa, cendekiawan Persialah yang mereka jadikan sebagai
pembesar-pembesar di istana.
Dengan
naiknya kedudukan orang-orang Persia dan kemudian orang-orang Turki dalam
pemerintahan bani Abbasiyah, kedudukan orang-orang Arab menurun. Masa ini
bukanlah masa ekspansi daerah kekuasaan seperti pada masa Umayyah tetapi masa
pembentukan kebudayaan dan peradaban Islam. Berbagai macam disiplin keilmuan
meningkat pesat. Perguruan Tinggi yang didirikan pada zaman ini antara lain
Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum
namanya sebagai universitas Islam yang termasyhur di seluruh dunia.
Periode
ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan memiliki pengaruh
walaupun tidak secara langsung pada tercapainya peradaban modern di Barat
sekarang. Periode kemajuan Islam ini menurut Christoper Dawson, bersamaan
masanya dengan abad kegelapan di Eropa. Pada abad ke-11 Eropa mulai sadar akan
adanya peradaban Islam yang tinggi di
Timur dan melalui Spanyol, Sicilia , peradaban itu sedikit demi sedikit
ditransfer ke Eropa. Dari Islam-lah Eropa mempelajari semua ilmu pengetahuan.
Maka tidak mengherankan jika Gustave Lebon mengatakan bahwa “orang Arab-lah yang menyebabkan kita
mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”.
Karena besarnya peranan dan pengaruh Dinasti
Abbasiyah terhadap perkembangan kebudayaan dan kemajuan agama Islam maka dalam
makalah ini akan dibahas tentang:
1.
Bagaimana Sejarah
berdirinya Dinasti Abbasiyah
2.
Bagaimana Pola
pemerintahan Dinasti Abbasiyah
3.
Siapa saja
yang pernah menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah
4.
Bagaimana
peta kekuasaan Dinasti Abbasiyah
5.
Apa saja
penyebab runtuhnya dinasti Abbasiyah.
B. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI
ABBASIYAH
Dinasti
Bani Abbas atau khilafah Abbasyiah,sebagaimana disebutkan,melanjutkan kekuasaan
dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman nabi Muhammad saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari
tahun 132 H (750 M) s/d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.[2]
Ketika
Dinasti Umayyah berkuasa Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan.
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan
memberikan toleransi pada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad
serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum
melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam
penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan
gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas,
setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah
Marwan II yang sedang berkuasa.[3]
Orang-orang
Abbasiyah,sebut saja Bani Abbas merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan Bani Hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka,orang-orang Umayyah secara
paksa menguasai kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu,
untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa
dalam bentuk pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[4]
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang
cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin
Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya
diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Ibrahim
tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum
akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk
menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan untuk
pindah ke Kufah. Dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah[5]
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah
ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya
berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali, salah seorang paman
Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin
Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus
melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah
Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M. dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti
Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah.[6]
dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Bani
Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua
dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi
pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Dalam
sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Amawiyah I, terjadi
bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.
Penindasan yang terus menerus terhadap
pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.
Merendahkan kaum muslimin yang bukan
bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.
Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan
hak-hak asasi manusia dengan terang-terangan.[7]
Oleh
karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan
gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Amawiyyah. Gerakan ini menghimpun[8]
a)
Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu
Salamah
b)
Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman
c)
Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu
Muslim al-Khurasany.
Mereka
memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H/750 M
tumbanglah Daulah Amawiyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, Khalifah
terakhir. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan
diangkatnya Khalifah pertama, Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas
al-Saffah, pada tahun [132-136 H/750-754.[9]
Pada
awalnya kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu as-Saffah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far
al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Daulah
Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga
dapatlah dikelompokkan masa daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal- usul penguasa selama masa
508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.
C. POLA PEMERINTAHAN ABBASIYAH
Kekhalifahan Bani Abbas bertumpu pada banyak sistem yang
pernah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun
non-muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua,
Abu Ja’far Al-Mansur
yang dikenal sebagai pembangun khilafah tersebut. Sedangkan sebagai pendiri
Abbasiyah ialah Abul Abbas as-Shaffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia
kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim
Al-Khurrasani dan memang wilayah operasional bangsa ini berada di bekas
reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga
karena sudah bosannya mereka terhadap kebijaksanaan pemerintah Umayyah yang
diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga negara
kelas dua (kaum mawalli). Maka tidak
mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam
sistem pemerintahannya.
Bangsa Persia mempercayai adanya hak agung raja-raja yang
didapat Tuhan, oleh karena itu para khalifah Abbasiyah memperoleh kekuasaan
untuk mengatur negara langsung dari Allah bukan dari rakyat yang berbeda dari
sistem kekhalifahan yang diterapkan oleh Khulafaurrasyidin yang dipilih oleh
rakyat. Kekuasaan tertinggi mereka diletakkan pada ulama, sehingga
pemerintahannya merupakan sistem teokrasi[10]
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran rakyat mencapai tingkat
tertinggi.
Setelah
pemerintahan Abul Abbas (750-754 M) yang relatif sangat singkat, dilanjutkan
dengan pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). dengan keras dia hadapi
lawan-lawannya dari Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan
dari kekuasaan. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru di bangunnya,
yaitu Baghdad. Disini Al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahn ini, dia menciptakan
tradisi baru dengan mengangkat seorang wazir
sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris
negara dan kepolisian disamping membenahi angkatan bersenjata.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M).
tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbasiyah dalam empat periode :
1.
Masa
Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya daulah khalifah Al-Watsiq
232 H/847 .
2.
Masa
Abbasiyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya
daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M
3.
Masa
Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H/1055 M
4.
Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang
Saljuk ke Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa
Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M
Dalam sudut pandang lain, dikatakan bahwa perkembangan
daulah Abbasiyah dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama, tahun 132-232 H dimana para khalifah Abbasiyah berkuasa
penuh. Semua wilayah Islam berada di tangan kekuasaan Abbasiyah terkecuali Andalusia yang ada di bawah
Bani Umayyah. Kedua, tahun 232-590 H
tatkala kekuasaan para khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan orang
lain yakni di tangan orang-orang Turki (Atrak), Bani Buwaih dan Bani Saljuk. Ketiga, tahun 590-659 H kembalinya
kekuasaan Abbasiyah di tangan mereka tetapi wilayah kekuasaannya menyempit,
yaitu hanya di sekitar Baghdad saja.
D. PARA KHALIFAH DINASTI ABBASIYAH
Sistem pengangkatan putra mahkota dalam dinasti ini,
mengikuti cara Dinasti Bani Umayyah. Namun ada pemakaian gelar bagi para khalifahnya, seperti Abu Ja’far.
Ia memakai gelar Al-Manshur. Para khalifah bani Abbasiyah berjumlah 37
khalifah, mereka adalah :
NO
|
KHALIFAH
|
NO
|
KHALIFAH
|
1
|
Abul Abbas Ash-Shafah
|
20
|
Abul abbas Ahmad Ar-Radi
|
2
|
Abu Ja’far Al-Manshur
|
21
|
Abu Ishaq Iabrahim Al-Muttaqi
|
3
|
Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi
|
22
|
Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi
|
4
|
Abu Muhammad Musa Al-Hadi
|
23
|
Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti
|
5
|
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid
|
24
|
Abul Fadl Abdul Karim At-Thai
|
6
|
Abu Musa Muhammad Al-Amin
|
25
|
Abul Abbas Ahmad Al-Qadir
|
7
|
Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun
|
26
|
Abu Ja’far Abdullah Al-Qaim
|
8
|
Abu Ishaq Muhammad Al-Mu’tashim
|
27
|
Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi
|
9
|
Abu Ja’far harun Al-Watsiq
|
28
|
Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir
|
10
|
Abu Fadl ja’far Al-Mutawakil
|
29
|
Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid
|
11
|
Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir
|
30
|
Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid
|
12
|
Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in
|
31
|
Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi
|
13
|
Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz
|
32
|
Abul Mudzafar Al-Mustanjid
|
14
|
Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi
|
33
|
Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi
|
15
|
Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tamid
|
34
|
Abul Abbas Ahmad An-Nasir
|
16
|
Abuk Abbas Ahmad Al-Mu’tadid
|
35
|
Abu Nasr Muhammad Az-Zahir
|
17
|
Abul Muhammad Ali Al-Muktafi
|
36
|
Abu Ja’far Al-Mansur Al-mustansir
|
18
|
Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir
|
37
|
Abu Abdullah Al-Mu’tashim Billah
|
19
|
Abu Mansur Muhammad Al-Qahir
|
E.
EXPANSI WILAYAH DINASTI ABBASIYAH
Bani
Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang
Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mamluk di Mesir pada pertengahan abad
ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun
begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak
dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari
dinasti Fatimiyyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi
Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko,
Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah
kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah
berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya
menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.Untuk
lebih jelasnya tentang wilayah Dinasti Abbasiyah ini dapat dilihat pada peta
berikut ini.
F. RUNTUHNYA DINASTI ABBASIYAH
Menurut Dr. Badri yatim, M.A.,[12] diantara
hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut
a. Persaingan Antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah berkuasa.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan
sejak awal khilafah Abbasiyah berdiri.
b. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di
bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik.
c. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan
kebangsaan. Konflik yang muncul menjadi isu sentra sehingga menyebabkan
perpecahan. Berbagai alirn keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah,
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
d. Perang Salib
Merupakan sebab dari eksternal umat Islam. Perang salib
yang berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi
pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib sehingga
memunculkan kelemahan-kelemahan.
e. Serangan Bangsa
Mongol
Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad
sebagai pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah seolah hanyut dibawa sungai
Tigris, setelah kota itu dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu
Khan pada tahun 1258 M. semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut
dihancurkan pasukan Mongol, meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang
ilmu, dan membakar buku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini
diserang pula oleh pasukan Timur Lenk dan pada tahun 1508 M oleh tentara
kerajaan Syafawi.
Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya,
Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar
dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang
jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku
itu. Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran
penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam dengan gemilang.
G.KESIMPULAN
1. Orang-orang Abbasiyah,sebut saja Bani Abbas
merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab
mereka adalah keturunan Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat
dengan Nabi. Menurut mereka,orang-orang Umayyah secara paksa menguasai
kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa dalam bentuk
pemberontakan terhadap Bani Umayyah.Disamping itu mereka sudah bosan dengan
perlakuan-perlakuan yang menurut mereka sangat diskriminatif anatara lain
Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada
umumnya,Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak
diberi kesempatan dalam pemerintahan dan Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan
hak-hak asasi manusia dengan terang-terangan.
2. Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbasiyah dalam empat periode :
-
Masa
Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya daulah khalifah Al-Watsiq
232 H/847 .
-
Masa
Abbasiyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai
berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M
-
Masa
Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H/1055 M
3. Bani
Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan selama kurang lebih 5 abad dengan
dipimpin oleh 37 khalifah dan khalifah yang paling terkenal adalah Al-Makmun
dan Harun Arrasyid.
4. Khalifah
Abbasiyah mempunyai wilayah yang sangat luas mualai dari Asia Barat( Irak,Iran
dan beberapa Negara yang sekarang berada di wilayah jazirah Arab).Beberapa
Negara di wilayah Afrika Utara dan juga Eropa.
5. Bani
Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 setelah diserang oleh tentara Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah
peradaban Islam, Jakarta :
Amzah, 2009
http://erfins.wordpress.com/category/bani-abbasiyah/
diakses tanggal 27 Juni 2012
Karim, Abdul, Islam di Asia Tengah (Sejarah Dinasti Mongol-
Islam), Yogyakarta: Bagaskara, 2006
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Mahmudunnashir,Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
Sunanto
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Cet. I (Bogor: Prenada Media, 2003)
Su’ud
Abu, Islamologi, Cet. I, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2010.
Thahir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004
[1] Syed Mahmudunnashir, Islam
Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 1994), h. 246
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2010) h.49
[3]
Abu Su’ud, Islamologi, Cet. I, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), h. 72.
[4] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
Dan Peradaban Islam,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.
[6]
Ash-Shafah
artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abul Abbas Ash-Shafah
dikenal sebagai orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat iangatannya,
keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepadda Bani Umayyah. Sehingga dengan
tidak mengenal belas kasihan, ia membunuh keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.
Lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid II,( Jakarta : Bulan Bintang, 1981), h. 102
[7]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Cet. I (Bogor: Prenada Media,
2003), h. 47.
[8] Ibid,
h. 48.
[9] Ibid.
h. 48
[12] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 80-85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar